Kedengarannya ekstrem. Tapi ini salah satu saran
seorang dokter spesialis anak asal Amerika kepada para orang tua agar
perkembangan otak dan kemampuan anak berkembang dengan baik.
Kalau
anak-anak dibiarkan bebas sebebas-bebasnya menonton TV, video, dan main game di
komputer, apa yang terjadi terhadap pertumbuhan dan kemampuan belajar mereka?
Itulah
pertanyaan yang mengusik benak Susan R. Johnson, M.D., dokter spesialis anak
asal San Francisco dan pernah mendalami ilmu kesehatan anak yang berkaitan
dengan perilaku dan perkembangan.
"Ratusan
anak mengalami kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan, dan melakukan gerakan
motorik kasar maupun halus. Kebanyakan mereka memenemui kesulitan dalam
berhubungan dengan orang dewasa dan kelompok seusianya," paparnya.
Semula
ia menduga,
itu melulu akibat tayangan di televisi yang sering menampilkan
kekerasan (terutama film kartun) dan semua iklan yang ditujukan pada mereka. Tetapi,
baru semenjak kelahiran anaknya enam tahun lalu, ia berhadapan dengan dampak
yang sesungguhnya.
Saat
bermain di luar, jelas Susan, anaknya bisa asyik mengamati binatang kecil atau
serangga, bikin mainan dari ranting dan batu, atau main air dan pasir. Ia
tampak begitu damai dengan dirinya, tubuhnya, dan lingkungannya. Tetapi begitu
di depan TV, ia begitu cuek dengan si ibu maupun lingkungannya.
"Waktu
saya matikan TV-nya, ia gelisah, senewen, dan selalu berteriak minta dinyalakan
lagi. Tingkah polahnya kacau dan gerakan-gerakannya impulsif. Boro-boro bikin
kreasi sendiri, ia justru meniru saja apa yang dilihatnya di TV dengan gerakan
yang tidak kreatif, kaku, dan diulang-ulang."
Saat
berusia 3,5 tahun, dia ajak anaknya mengunjungi sepupunya naik pesawat. Di
pesawat diputar film Mission: Impossible. Kebetulan mereka tidak kebagian
earphone sehingga yang tertangkap hanya gambarnya. Tapi justru karena itulah,
"Ia mendapat mimpi buruk dan takut pada api atau bunyi ledakan selama enam
bulan setelahnya, dan perilakunya berubah."
Setahun
kemudian ia meneliti enam orang anak berusia 8 - 11 tahun yang semuanya
memiliki kesulitan membaca di Pusat Kesehatan Sekolah. Menurut Susan,
"Kalau saya tunjukkan sejumlah huruf lalu saya minta mengenali huruf
tertentu, mereka dapat melakukannya. Tapi kalau saya tidak menunjukkan apa-apa
- berarti tanpa masukan visual - lalu saya suruh menuliskan huruf tertentu,
mereka tidak bisa."
Timbul
pertanyaan:
*
Apa yang terjadi pada anak yang sedang tumbuh dan berkembang jika mereka
dipapari rangsangan audio dan visual pada saat bersamaan? * Berapa banyak
kemampuan otak yang hilang atau bahkan tidak berkembang akibat kebiasaan itu?
Tiga
tahap perkembangan otak
Kemampuan
anak ibarat benih yang perlu dipelihara dan dipupuk agar tumbuh dengan baik.
Kalau lingkungan tidak memberikan pemeliharaan dan perlindungan terhadap
rangsangan yang berlebihan, maka potensi serta kemampuan-kemampuan tertentu
tidak dapat terwujud.
Anak
dilahirkan dengan 10 miliar neuron (sel syaraf) di otaknya. Tiga tahun pertama
sejak lahir merupakan periode di mana miliaran sel glial terus bertambah untuk
memupuk neuron. Sel-sel syaraf ini dapat membentuk ribuan sambungan antar
neuron yang disebut dendrite yang mirip sarang laba-laba, dan axon yang
berbentuk memanjang.
Otak
anak usia 6 - 7 tahun besarnya dua pertiga otak orang dewasa, tapi memiliki 5 -
7 kali lebih banyak sambungan antar neuron daripada otak anak usia 18 bulan
atau orang dewasa. Otak mereka memang punya kemampuan besar untuk menyusun
ribuan sambungan antar neuron. Namun, kemampuan itu berhenti pada umur 10 - 11
tahun jika tidak dikembangkan atau digunakan. Saat itu enzim tertentu
dilepaskan dalam otak dan melarutkan semua jalur atau "urat" syaraf
(pathways) yang tidak termielinasi dengan baik (mielinasi adalah proses
pembungkusan jalur syaraf dengan myelin yang berujud protein-lemak).
Perkembangan
otak anak yang sedang tumbuh melalui tiga tahapan, mulai dari otak primitif
(action brain), otak limbik (feeling brain), dan akhirnya ke neocortex (atau
disebut juga thought brain, otak pikir).
Meski
saling berkaitan, ketiganya punya fungsi sendiri-sendiri. Otak primitif
mengatur fisik kita untuk bertahan hidup, mengelola gerak refleks,
mengendalikan gerak motorik, memantau fungsi tubuh, dan memproses informasi
yang masuk dari pancaindera. Saat menghadapi ancaman atau keadaan bahaya,
bersama dengan otak limbik, otak primitif menyiapkan reaksi "hadapi atau
lari" (fight or flight response) bagi tubuh. "Kita akan bereaksi
secara fisik dan emosi lebih dulu sebelum otak pikir sempat memproses
informasi," papar dr. Susan.
Otak
limbik memproses emosi seperti rasa suka dan tidak suka, cinta dan benci. Otak
ini sebagai penghubung otak pikir dan otak primitif. Maksudnya, otak primitif
dapat diperintah mengikuti kehendak otak pikir, di saat lain otak pikir dapat
"dikunci" untuk tidak melayani otak limbic dan primitif selama
keadaan darurat, yang nyata maupun yang tidak.
Sedangkan
otak pikir, yang merupakan bentuk daya pikir tertinggi dan bagian otak yang
paling objektif, menerima masukan dari otak primitive dan otak limbik. Namun,
ia butuh waktu lebih banyak untuk memproses informasi, termasuk image, dari
otak primitif dan otak limbik. Otak pikir juga merupakan tempat bergabungnya
pengalaman, ingatan, perasaan, dan kemampuan berpikir untuk melahirkan gagasan
dan tindakan.
Mielinasi
saraf otak berlangsung secara berurutan, mulai dari otak primitif, otak limbik,
dan otak pikir. Jalur syaraf yang makin sering digunakan membuat mielin makin
menebal. Makin tebal mielin, makin cepat impuls syaraf atau perjalanan sinyal
sepanjang "urat" syaraf. Karena itu, anak yang sedang tumbuh
dianjurkan menerima masukan dari lingkungannya sesuai dengan perkembangannya.
Di
samping itu, anak juga membutuhkan pengalaman yang merangsang pancaindera.
Namun, indera mereka perlu dilindungi dari rangsangan yang berlebihan karena
anak-anak itu ibarat sepon.
"Mereka
menyerap apa saja yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan, dan disentuh dari
lingkungan mereka. Kemampuan otak mereka untuk memilah atau menyaring
pengalaman, rasa yang tidak menyenangkan dan berbahaya belum berkembang,"
papar Susan.
Rangsangan
dan perkembangan indera itu pada gilirannya akan mengembangkan bagian tertentu
dari otak primitif yang disebut reticular activating system (RAS). RAS ini
pintu masuk di mana kesan yang ditangkap setiap indera saling berkoordinasi
sebelum diteruskan ke otak pikir.
RAS
merupakan wilayah di otak yang membuat kita mampu memusatkan perhatian.
Kurangnya stimulasi, atau sebaliknya stimulasi yang berlebihan, ditambah lagi
dengan gerakan motorik kasar dan halus yang tidak berkembang secara baik, bisa
menyebabkan rusaknya perhatian terhadap lingkungan.
Sebelum
anak berusia empat tahun, otak primitif dan otak limbik sudah 80% termielinasi.
Setelah umur 6 - 7 tahun mielinasi bergeser ke otak pikir. Awalnya dari belahan
otak kanan yang antara lain bertugas merespons citra visual. Ketika menonton
TV, belahan otak kanan inilah yang paling dominan kerjanya.
Sedangkan
ketika membaca, menulis, dan berbicara, belahan otak kiri yang dominan. Tugas
utama otak kiri ialah berpikir secara analitis dan menyusun argumen logis
langkah demi langkah. Ia menganalisis suara dan makna bahasa (misalnya,
kemampuan mencocokkan suara dengan alfabet), juga mengelola keterampilan otot
halus.
Pentingnya
aktivitas motorik kasar
*
Kedua belahan otak itu dijembatani oleh bundel "urat" syaraf yang
disebut corpus collosum. Sisi kanan dan kiri tubuh saling berkoordinasi melalui
jembatan ini.
Aktivitas
motorik kasar seperti lompat tali, memanjat, lari, serta aktivitas motorik
halus macam menggambar, merenda, membuat origami, dan bikin kue merupakan
akitivitas penting bagi proses mielinasi C.collosum. Jalur ini memungkinkan
kemampuan berpikir analitis (otak kiri) dan intuitif (otak kanan) untuk saling
mempengaruhi. Sejumlah ahli neuropsikologi percaya, buruknya perkembangan
jembatan ini mempengaruhi komunikasi efektif antara belahan otak kanan dan
kiri. Diduga, inilah penyebab timbulnya kesulitan perhatian dan belajar pada
anak.
Pertanyaannya
kemudian, apa kerugian otak dengan menonton televisi?
Televisi
sesungguhnya hanya memberikan informasi kepada dua indera: mata dan telinga.
Padahal ketajaman visual dan pandangan tiga dimensional pada anak belum
berkembang sepenuhnya sampai usia empat tahun. Gambar yang dihasilkan layar
televisi itu gambar dua dimensi, tidak fokus dan kabur karena tersusun dari
titik-titik sinar. Itu membuat mata anak-anak harus memaksa diri agar gambar
menjadi jelas.
Televisi,
juga barang elektronik lain, memancarkan gelombang elektromagnetik. Maka
disarankan, posisi menonton setidaknya 120 cm dari TV dan 45 cm dari layar
komputer.
Sistem
visual yang meliputi kemampuan mencari (search out), memindai (scan), memfokus,
dan mengidentifikasi apa yang masuk ke bidang pandang, terganggu oleh kegiatan
menonton TV. Padahal keterampilan visual ini perlu dikembangkan dalam kaitannya
dengan membaca efektif. Saat menonton, pupil mata anak tidak melebar, dan
nyaris tidak ada gerakan mata yang justru penting dalam kegiatan membaca. Mata
dituntut terus bergerak dari kiri ke kanan halaman saat membaca.
Kemampuan
untuk memusatkan perhatian juga mengandalkan sistem visual ini. Sementara itu
gambar-gambar televisi yang berubah secara cepat tiap 5 - 6 detik pada
kebanyakan tayangan acara dan 2 - 3 detik pada iklan, membuat otak pikir tidak
punya kesempatan memproses image. Padahal otak pikir perlu 5 - 6 detik untuk
memproses gambar begitu mendapat stimulus.
Sebabkan
kecemasan kronis
*
Membaca buku, berjalan-jalan di alam, atau bercakap dengan orang lain - di mana
anak punya kesempatan untuk merenung dan berpikir – jauh lebih mendidik
daripada menonton TV.
Kegiatan
ini meniadakan pengalaman berharga itu. Menonton TV merupakan pekerjaan tanpa
akhir, tanpa tujuan, dan tak bikin "kenyang". Tidak seperti makan dan
tidur yang bisa bikin perut kenyang dan badan tidak capek lagi, menonton TV
tidak ada ujungnya. "TV membuat anak ingin terus menonton tanpa pernah
merasa puas," ungkap Susan.
Bagaimana
dengan Sesame Steet, misalnya? Bukankah acara itu mendidik dan di sana anak
diajari cara membaca?
Sesame
Street dan kebanyakan acara televisi untuk anak, papar Susan, meletakkan
belahan otak kiri dan sebagian belahan otak kanan ke dalam gelombang alfa (slow
wave of inactivity). Televisi membius fungsi-fungsi otak pikir dan merusak
keseimbangan serta interaksi antara belahan otak kiri dan kanan.
Secara
umum, membaca menghasilkan gelombang beta cepat dan aktif, sedangkan menonton
televisi meningkatkan gelombang alfa lambat di belahan otak kiri dan kanan.
Belahan kiri merupakan pusat penting dalam kegiatan membaca, menulis, dan
berbicara. Otak kiri merupakan tempat di mana simbol-simbol abstrak (misalnya
huruf-huruf alfabet) dikaitkan dengan bunyi. Sumber cahaya televisi yang
berpendar dan bergetar diduga ada kaitannya dengan meningkatnya aktivitas
gelombang lambat itu.
Otak
primitif tidak dapat membedakan mana gambar riil dan mana gambar di TV karena
penglihatan merupakan tanggung jawab otak pikir. Karena itu, ketika TV
menayangkan gambar-gambar close-up dan gambar-gambar bercahaya secara
tiba-tiba, otak primitif bersama otak limbik segera menyiapkan respons
"hadapi atau lari" dengan melepaskan hormon dan bahan kimia ke
seluruh tubuh. Degup jantung dan tekanan darah naik. Darah yang mengalir ke
otot-otot anggota badan meningkat, bersiap-siap menghadapi keadaan bahaya.
Karena
itu terjadi dalam tubuh tanpa diikuti gerakan-gerakan yang sesuai dari anggota
badan, maka acara-acara TV tertentu sesungguhnya meletakkan kita ke dalam suatu
keadaan stres atau kecemasan kronis. Berbagai studi menunjukkan, pada orang
dewasa yang mengalami stres kronis pertumbuhan belahan otak kirinya terhenti
(atrophy).
Ketika
otak anak dipapari rangsangan visual sekaligus suara, yang diserap hanyalah
visualnya. Ilustrasi tentang fenomena ini dapat dilihat pada sekelompok anak (6
- 7 tahun) yang disuguhi tontonan video yang suaranya tidak sesuai dengan
gerakan visualnya. Begitu ditanya, mereka tidak ngeh kalau suara dan gambarnya
tidak klop. Itu artinya, mereka tidak menyerap isi tontonannya. Begitu pula
dengan Sesame Street.
Inteligen
hati
Namun,
masih ada yang berkilah, "Apa salah memanfaatkan televisi sekadar untuk
hiburan? Saya suka menonton film-film Disney macam Snow White."
Televisi
memiliki efek begitu dalam terhadap kehidupan perasaan atau jiwa kita. Menonton
televisi membuat kita terlepas dari kehidupan nyata. Di kursi yang nyaman di
ruang yang sejuk dengan banyak makanan, kita duduk menonton para tunawisma,
orang kelaparan atau menderita di layer kaca. Kita tersentuh melihat nasib
mereka, tetapi tidak berbuat apa-apa. Orang boleh bilang, membaca buku pun
dapat membangkitkan perasaan serupa tanpa berbuat apa-apa.
Namun,
menurut dr. Susan, saat sedang membaca buku (yang tidak banyak gambarnya),
pikiran bisa berimajinasi dan punya kesempatan memikirkannya. Pikiran itu dapat
menggiring anak kepada gagasan yang menimbulkan inspirasi untuk melakukan
sesuatu. Televisi tidak begitu."
"Kita
tidak akan lupa dengan apa yang pernah kita lihat. Otak limbic dihubungkan dengan
memori, dan gambar di TV kita ingat entah secara sadar, tanpa sadar, atau bawah
sadar. Maka, kita hampir tidak mungkin menciptakan imajinasi tentang Snow White
dari buku cerita jika kita sudah pernah menonton filmnya. Sebaliknya, orang
sering kecewa ketika menonton film setelah membaca bukunya. Imajinasi kita itu
jauh lebih kaya daripada apa yang dapat ditunjukkan di layar film," papar
dr. Susan.
Ketika
menonton televisi, anak-anak tidak menggunakan imajinasi sama sekali. Itu
berarti bagian tertentu di otak pikir untuk menciptakan gambaran (yang
merupakan fondasi bagi angan-angan, intuisi, inspirasi, dan imajinasi), kurang
dilatih.
Kita
dibekali kemampuan yang disebut heart intelligence yang perlu dikembangkan
antara lain dengan berinteraksi dengan orang lain. "Kita mengalami bahasa
nonverbal mereka, misalnya bagaimana ia bergerak, bagaimana nada suaranya,
apakah ia menatap ke arah lain saat bicara. Inilah cara kita belajar melihat
konsistensi antara isyarat verbal dan nonverbal untuk menemukan kebenaran,"
jelas dr. Susan.
Televisi
tidak bisa mengembangkan kemampuan itu. (intisari)
0 comments:
Post a Comment